Tanda
: -- boleh kupuisikan?
kau sembunyikan tanda,
tapi aku membaca sajak rindu
yang hampir jatuh
dari napas yang kau ambil satusatu
kau kehilangan waktu untuk membentangkan narasi
: tentang pertemuan
yang cukup kau hujani doa (semoga)
aku ingin ada batas
biar kebeningan cahaya menjadi jeda
di antara dua laut
: kita
jika bahasa tumpah
aku takut makna
akan tertinggal di jejak –jejak usia
dan kita menafikan Tuhan
aku tak tahu. apa kelak laut kita akan berdebur?
tapi andainya tidak, kita tahu
ada dua laut yang pernah bertemu
dicatat Tuhan dalam helai malam
yang kelak akan dibagikan: tersebar seperti hujan
--(selesai), dan kita berpaling.-
satu daun jatuh,
Yogyakarta, 2008
Untuk Must,
: Apa kau masih mengeja?
dari wajah seorang lelaki hampa,
surat-surat tanpa tanda dialamatkan
sangat rahasia, tapi
di depanmu
tepat
satu luka, kau lelah membaca
tanpa tanda juga isyarat
hanya seperti kertas tanpa tinta
tak kau temukan sedikitpun metafora
kau menyusur jalan-jalan
melupakan peta, karena kau ingin lebih lama mengeja
di musim bunga, kau melepas napas
“ waktu ku habiskan dengan menumpuk kertas-kertas
duga … aku lelah”
: must, bagaimana kau melepas napas?
harus dengan gerimis,
atau senyum yang terlipat
di sekat-sekat rasa sakit??
Yogyakarta, 2009
Dogmatika
: dan kususun gugus air mata
Arzha, aku terapung di antara gelisah
Sementara rembulan melukis doa dengan cahaya,
Aku mengubur namanama
Satu puisi kuselesaikan. Aku susun gugus air mata
Separuh waktu, kau penuhi dogmatika
: sesuatu yang lupa pada hasrat
Kau ingin pernikahan menandai selarik cinta
Dalam selesat dogmatika
: jangan mencintai dengan sederhana
Ini sama sekali tak puitis, hanya saja kengiluan
Kutulis
--menjadi gerimis
Yogyakarta, 2009
Nurul Lathiffah. Lahir di Kulon progo, 21 September 1989. Mulai suka menulis sejak kelas 2 SMP. Beralamat di dusun 3 Rt 12 RW 05 Brosot Galur kulonProgo Yogyakarta. Hal yang palimh disukai: kesederhanaan, ketulusan, dan kesungguhan. Menikmati kesendiriannya dengan membaca dan menulis, karyanya di muat di beberapa media seperti, Merapi, Horison, Buletin Lontar, Sabili serta beberapa media lokal. Saat ini sedang menempuh studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada fakultas Ilmu sosial dan Humaniora program studi psikologi.
Senin, 27 April 2009
Sabtu, 07 Maret 2009
Sajak Ahmad Kekal Hamdani
Sajak Ahmad Kekal Hamdani
Penyair dan Kupu-kupu
-saut situmorang
saat saut kecil bermain hujan
kupu-kupu berlindung ke kotaku, membuka jendela
lantas berkata:
penyair, tuhan sedang bermain bola di lapangan
seorang tua yang memilah usia di kerat jendela
terpecah, lamunnya memburai jadi jelaga
dikemasinya luka-luka, vigora berisi naga, juga
lukisan kelabu bergambar sejarah
kupu-kupu mengepak, penyair itu berkeretap
memeras dinding, di mana hujan, ucapnya pada awan
awan sedang mengirim hujan di lapangan
saut main hujan, telanjang bersama tuhan
aku sedang melukis sajak
kupu-kupu mengepak, penyair itu mencari
tuhan. di jendela
saut telanjang
aku murung
penyair itu, bingung
Yogyakarta, 2009
Sajak Ahmad Kekal Hamdani
Berlayar Jam 00.00 Waktu Diam
I
sayup, ia masih mengharap pada laut. yang ber-
gelombang membelok ke sungaisungai. di rindunya
kala senja, ketike seorang menemuinya dari laut, apa kabar
katanya,
ia masih berkecipak, mata airmata dan sampan
tidak ibu, ayah masih menjaring udang dalam kamar
ia, hanya sendiri. begitupun laut
masih menantinya pergi
II
sebelum tertidur:
kau lempar kata ke samudera, berharap
ia akan mencatat segala yang pernah hilang
satu kala, saat remang senja, kota di hatimu menghilang
tibatiba, begitulah engkau lantas menggambar
waktu di dindingdinding, di ranjang, tubuhmu
mengeras jadi sampan
III
kau pernah bertanya:
mengapa tuhan menjadikan aku gelombang
lalu orang-orang di pantai, memanggilmu
laut yang kesepian.
sudah berabad lamanya:
kau ingin pergi kesana, tempat gunung
sapi-sapi berkelana, lantas
seorang perawan menangis di tepian
kau terus saja, menghempas
sambil bertanya:
mengapa tuhan menjadikanku gelombang
langit diam
Yogyakarta, 2009
Penyair dan Kupu-kupu
-saut situmorang
saat saut kecil bermain hujan
kupu-kupu berlindung ke kotaku, membuka jendela
lantas berkata:
penyair, tuhan sedang bermain bola di lapangan
seorang tua yang memilah usia di kerat jendela
terpecah, lamunnya memburai jadi jelaga
dikemasinya luka-luka, vigora berisi naga, juga
lukisan kelabu bergambar sejarah
kupu-kupu mengepak, penyair itu berkeretap
memeras dinding, di mana hujan, ucapnya pada awan
awan sedang mengirim hujan di lapangan
saut main hujan, telanjang bersama tuhan
aku sedang melukis sajak
kupu-kupu mengepak, penyair itu mencari
tuhan. di jendela
saut telanjang
aku murung
penyair itu, bingung
Yogyakarta, 2009
Sajak Ahmad Kekal Hamdani
Berlayar Jam 00.00 Waktu Diam
I
sayup, ia masih mengharap pada laut. yang ber-
gelombang membelok ke sungaisungai. di rindunya
kala senja, ketike seorang menemuinya dari laut, apa kabar
katanya,
ia masih berkecipak, mata airmata dan sampan
tidak ibu, ayah masih menjaring udang dalam kamar
ia, hanya sendiri. begitupun laut
masih menantinya pergi
II
sebelum tertidur:
kau lempar kata ke samudera, berharap
ia akan mencatat segala yang pernah hilang
satu kala, saat remang senja, kota di hatimu menghilang
tibatiba, begitulah engkau lantas menggambar
waktu di dindingdinding, di ranjang, tubuhmu
mengeras jadi sampan
III
kau pernah bertanya:
mengapa tuhan menjadikan aku gelombang
lalu orang-orang di pantai, memanggilmu
laut yang kesepian.
sudah berabad lamanya:
kau ingin pergi kesana, tempat gunung
sapi-sapi berkelana, lantas
seorang perawan menangis di tepian
kau terus saja, menghempas
sambil bertanya:
mengapa tuhan menjadikanku gelombang
langit diam
Yogyakarta, 2009
Sabtu, 28 Februari 2009
Sajak Urbanaik Khumaida
Aku tak jauh dari agustus
juga bukan aku masa lalu yang santun
sepi paling dalam ketika malam menua
juga ketika pagi seperti lampu neon di hatimu
kematian suara yang lebih sunyi
lihat,bagaimana embun menyerupai gerimis dan terpejam
menenggelamkan wajah gemetaran mengusik gang-gang kecil digaris tanganmu
menagih kesetiaan yang ranum
" aku tak jauh dari agustus "
ucapmu,sementara menyelipkan buah mangga di dada ibu
Pamekasan, 2008
Tum-tum jali tum-tum ala ole
( masa kecil dan kesederhanaan sunyi )
bagaimana aku akan berlari dan kau mengejarku
jika kau tak bilang ‘tum-tum jali tum-tum ala ole "
atau kita tertawa saja,bertepuk tangan dan ikut menangis
tak boleh kau curang
sungguh ku tak suka permainan ini
kutemukan angin tersesat di mainanku
kini ku pulang,kamarku tak perlu diam untuk sepi
Pamekasan 2008
Mari menari !
Mari menari !
nyanyian sepasang pengantin timbun dalam gubuk tua yang ketakutan
ketika kau harus bermain – main dengan cerita, antara sepi dan cinta
sunyi yang diperjual – belikan
ketika sepasang pengantin berteriak tak bisa menangis, malam buta
perempuan – perempuan bersiul membunuh segala kebebasan yang dibanggakan
…………….. kenapa harus senantiasa kehidupan
…………….. kau ciptakan dosa, juga neraka yang mengerang
Ah… ! cerita yang membosankan
bubarkan semua kata sebab ini bukanlah sebuah bangsa yang berpenguasa
kematian adalah jarak antara berbicara dan bersuara
Hidup adalah menari, bernyanyi , dan bermain – main
……………. Oow … mari menari !
Pamekasan, 2008
Albumbiru I
khairil :
renta sudah wajah kita
ada beberapa bayangan purnama yang kemudian gerhana
dan kita sama – sama terbang seperti kunang – kunang telanjang menikmati sunyi
biarkan langit membungkuk dengan segala pertikaiannya pada semesta
kita bawa matahari memeluk mendung
khairil :
kau seperti menidurkan alarm dalam laci kamarmu
kau sedang apa ?
takkah kau lihat samudera yang berloncatan diluar jendela ?
ya, kau mencipatakan peta kotamu
lalu seluruh pintu kau tutup dengan jendela yang merapat
sayang …
aku masih lelap saat kau membangunkanku
Pamekasan, 2007
Albumbiru 2
khairil :
hujan pecah di tiang –tiang listrik jalanan
menghitung waktu kapan terakhir kau kirimkan
sampan untuk jalan pulang
hinga malam bertikaman dijantungku
kerinduan telah menjadi mayat
kuciumi keningmu yang mendesing di trotoar,
sepatu – sepatu itupun tersipu dan mencintaiku
khairil :
puisi – puisi waktu kecil yang tiada mempunyai langit
merebahkanku dikenangan rembulan
kupanggil dia " Kekasih "
dan tuhan mulai angkuh malam ini,
ia hendak menidurkanku dengan menghancurkan
patung – patung dalam kamar mandi
membunuh sujud di rel kereta api menghanguskan pagi
kita sama – sama berlalu
terhanyut dalam sungai kecil, kotoran manusia
dah tulang – belulang yang berserak,
angin bisu … Hening … Kau menyelimutiku
khairil :
tawa tuhan membatu pada jiwa – jiwa
merekah luka – luka kita
lampaui bukit yang curam
betapa "cinta" terang berpendaran
aku sesal
renta sudah wajah kita
ada beberapa bayangan purnama yang kemudian gerhana
dan kita sama – sama terbang seperti kunang – kunang telanjang menikmati sunyi
biarkan langit membungkuk dengan segala pertikaiannya pada semesta
kita bawa matahari memeluk mendung
khairil :
kau seperti menidurkan alarm dalam laci kamarmu
kau sedang apa ?
takkah kau lihat samudera yang berloncatan diluar jendela ?
ya, kau mencipatakan peta kotamu
lalu seluruh pintu kau tutup dengan jendela yang merapat
sayang …
aku masih lelap saat kau membangunkanku
Pamekasan, 2007
Albumbiru 2
khairil :
hujan pecah di tiang –tiang listrik jalanan
menghitung waktu kapan terakhir kau kirimkan
sampan untuk jalan pulang
hinga malam bertikaman dijantungku
kerinduan telah menjadi mayat
kuciumi keningmu yang mendesing di trotoar,
sepatu – sepatu itupun tersipu dan mencintaiku
khairil :
puisi – puisi waktu kecil yang tiada mempunyai langit
merebahkanku dikenangan rembulan
kupanggil dia " Kekasih "
dan tuhan mulai angkuh malam ini,
ia hendak menidurkanku dengan menghancurkan
patung – patung dalam kamar mandi
membunuh sujud di rel kereta api menghanguskan pagi
kita sama – sama berlalu
terhanyut dalam sungai kecil, kotoran manusia
dah tulang – belulang yang berserak,
angin bisu … Hening … Kau menyelimutiku
khairil :
tawa tuhan membatu pada jiwa – jiwa
merekah luka – luka kita
lampaui bukit yang curam
betapa "cinta" terang berpendaran
aku sesal
Bangkalan, 2007
Albumbiru 3
Albumbiru 3
suram malam ini …
memotong-motong kepala mengingatmu
gunung-gunung dengan belahan purnama di atas meja
makan pagi dengan dua martil di kepalamu.
ingat untuk besok khairil
angin yang menggeliat dibelakang rumah kita
ia melompat dari dahan kedahan surga
awan itu
awan itu
melambai pada sakit
kita kekalkan kuning rindu dipeternakan babi,
aha….ada cinta dikolong jembatan baru itu
sambil mengiris jemari dan air mata.
ajalkan semua mimpi
khairil,trotoar adalah telapak kaki ibu
menyusuimu kelak bak tirai dalam kaca
putih…putih…putih warnanya, khairil
kemarin segelas darah dan nanah
menggenangi pelupukmu
kaki yang membiru di atas sajadah penuh peluh
aku ingin menangis khairil
karna melupakanmu adalah nafas,
nafas abu-abu
sayang,bunga dan badai dalam catatanmu
mengombang ambingkan jurang sepi
berdetak di ubun-ubunku
mengelopak luka ditengah samudra
"aku mencarimu"
mencari kedatanganmu dari setiap lubang yang menguap,pengap
oleh bau borok yang sia-sia
Nanoom dan laila di dadamu
mengalir laut yang bermuara kesungai-sungai hati,mengharumkan rindu
bunga-bunga membatu,musim gugur membeku
karna kenangan itu adalah sesuatu yang berlalu
Pamekasan, 2008
Urbanaik Khumaida, Lahir pamekasan 20 April, mulai menulis sejak tahun 2007 masa lampau dari sekarang. karyanya banyak terpecah belah di berbagai media, diantaranya :Buletin Isyraq, Buletin Tera, Antologi puisi komunal "dilangit ketujuh aku menciummu" 2007, Antologi Puisi Penyair Nusantara 2008. Aktif di berbagai komunitas seni maupun sastra. sebagai ketua Komunitas Semadi Sastra, anggota Teater Hitam Putih dalam komunitas seni "jenggala' PP. Al-Karomah, sebagi pengurus FLP (forum Lingkar Pena) Cabang Pamekasan, Koord penelitian dan publikasi P2IM (persatuan Pemuda Islam Madura).
Langganan:
Postingan (Atom)